Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #32 : Sticky Note


“Sayang, tanggal ulang tahun kantor tanggal berapa sih?”

“Lima Agustus Pa, dua minggu lagi.”

“Ooo … terus nama direktur Pt. xx siapa ya?”

“Pak Heru Dinata. Masa bisa lupa sih?”

Aku cuma garuk-garuk kepala. Maklum, aku memang sangat pelupa. Kadang aku bahkan melupakan hari ulang tahun istriku. Untung saja dia sudah maklum dengan kekuranganku ini.

“Dua minggu lagi Papa kan bakal ada kontrak besar sama Pak Heru, gawat lo kalau lupa terus.”

“Ya terus gimana? Papa beneran susah lo ingat nama sama tanggal.”

Chika tampak kebingungan untuk sesaat lalu dia mulai membongkar isi lemari. Tak lama kemudian dia menyerahkan sesuatu ke tangan Milo. Itu adalah setumpuk sticky note.

“Kalau Papa dengar info penting langsung tulis terus tempel di meja kerja Papa. Kalau dilihat setiap hari pasti bakal inget kan?”
Aku benar-benar bersyukur memiliki istri yang begitu pengertian. Banyak yang bilang dia terlalu sempurna untukku (aku sendiri beranggapan begitu), tapi yang namanya keberuntungan ternyata memang ada.

Akhirnya aku pun mulai menggunakan sticky notes untuk mencatat segala hal penting yang perlu kuingat. Data, nama, tanggal, dan akhirnya ide-ide. Semua kutempel di meja kerjaku di kantor. Aku bisa merasakan hasil positif dari kebiasaan baru ini. Efisiensi kerjaku meningkat dan akhirnya mendapat promosi.

“Pak Milo, proposel buat proyek minggu depan udah ada belum?”

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Promosi memang berarti kenaikan gaji, tapi itu juga berarti lebih banyak pekerjaan.

“Sebenarnya udah sih, tapi aku ngerasa idenya bisa lebih bagus. Masih ada waktu kan? Biar kupikirin dulu.”

“Okay, santai aja. Ngomong-ngomong Pak Milo ikut undian nggak? Besok jam 12 siang tutup tiket.”

“Ahh, kalo itu sih kayaknya enggak dulu.”

Kantor kami memang punya acara undian tahunan dengan beragam hadiah menarik. Para karyawan boleh membeli sebanyak mungkin tiket dan berdoa ada satu nomor yang kena sasaran. Aku tak pernah ikutan karena sepertinya keberuntungan sudah habis untuk mendapatkan Chika.

“Pak Milo nggak pernah ikut ya? Tahun ini hadiah utamanya liburan ke Bali buat berdua lo. Kan lumayan bisa bulan madu lagi sama Chika.”

Aku cuma tersenyum kecut. Brian dari HR adalah teman sekelas Chika saat Sma. Keduanya terkejut saat bertemu di acara kantor dan kini keduanya berteman baik. Sebenarnya aku sedikit cemburu karena itu, tapi aku mencoba tidak terlalu memusingkannya.

Namun … bulan madu ke Bali ya? Pasti luar biasa kalau aku bisa dapat, tapi kemungkinan menang undian itu bahkan lebih kecil dibanding Christopher Nolan menjadi sutradara sinetron. Ada rumor yang bilang kalau hasil undian itu sudah diatur jadi aku semakin malas untuk ikut.

Tapi tanpa sadar aku menuliskan itu di salah satu sticky notes ku. Kira-kira nomor berapa yang akan menang undian?

***


Hari berikutnya berlangsung seperti biasa. Aku datang ke kantor dan mulai mengerjakan laporan untuk proyek baru. Aku baru menyadari sesuatu yang aneh saat memeriksa sticky notes yang kutulis kemarin. Di sticky notes tentang nomor undian, ada coretan yang bukan coretanku. Ditulis dengan tinta yang bukan tinta penaku.

“1244?”

Apa ini nomor tiket undian? Tapi siapa yang menulisnya di sini? Untuk apa?

Angka-angka itu terus berseliweran di kepalaku. Mungkin saja ada OB yang jahil menulis itu setelah aku pulang kemarin, tapi untuk apa? Apa ini cuma iseng? Atau jangan-jangan ….

“Ya, aku mau coba ikut.”

Beberapa menit sebelum penutupan aku memutuskan untuk mengakhiri pemikiran yang tak perlu. Kalau salah biarlah kalah, kalau benar maka aku tak akan menyesal.
Dan saat hasil undian keluar … aku menang.

***


Layaknya orang yang sedang jatuh cinta, aku terus menatap angka yang tertulis di sticky note. Entah bagaimana caranya pertanyaanku di sticky note ini terjawab dan jawaban itu menjadi kenyataan. Aku melihat sendiri saat semua nomor diputar hingga nomor pemenang dibacakan. Tak ada kecurangan di sana.

Jika hasil undian tak mungkin diprediksi maka kemungkinan yang tersisa cuma satu, siapa pun yang membalas pertanyaanku berasal dari masa depan.

Itu hal yang sulit dipercaya, tapi ada cara untuk membuktikannya. Aku pun mengambil sticky notes yang lain dan menuliskan pertanyaan baru.

Apakah besok bos datang ke kantor?

Bos kami punya beberapa cabang perusahaan jadi bukan hal yang aneh jika dia tak datang ke kantor pusat. Aku menempel catatan itu dan pulang ke rumah.

Keesokan harinya jawaban baru sudah ada.

“Bos tidak datang karena demam?”

Jawaban iya atau tidak sebenarnya sudah cukup, tapi jawaban ini sungguh detail. Aku semakin yakin dengan asumsiku saat berita bos demam menyebar di siang hari. Namun mungkin aku perlu mengetesnya lagi. Aku harus menanyakan sesuatu yang hanya aku saja yang akan tahu.

Apa warna pakaian dalam Chika besok?
Itu memang pertanyaan yang konyol, tapi jika pertanyaan itu terjawab dengan benar maka tak ada lagi yang perlu diragukan.

Dan sekali lagi, sticky note itu benar.

***


“Hei Sayang, kalau kamu bisa melihat masa depan kira-kira apa yang kamu pengen tahu?”

“Hmm? Kenapa tanya begitu?”

“Cuma nanya aja.”

“Hmm … apa ya? Nomor togel? Tanggal bencana? Ahh … aku … pengen tahu kapan aku mati.”

Aku berhenti mengunyah sarapanku. Itu adalah jawaban yang sama sekali tidak terduga.

“Kenapa kau pengen tahu itu?”

“Karena kalau kita tahu kapan kita mati kita bisa menyusun rencana lebih baik kan?” jawab Chika. “Kalau misalnya aku mati satu tahun dari sekarang aku nggak mungkin mau punya anak.”

Meski ada benarnya tapi aku merasa apa yang Chika katakan cukup menakutkan. Apalagi dia sampai menyinggung tentang punya anak. Sudah dua tahun menikah tapi dia belum ingin punya anak. Aku mulai bertanya-tanya apakah aku kurang pantas untuknya sampai-sampai dia menunda sesuatu yang harusnya menjadi kewajiban.

“Memangnya kau takut mati?” tanyaku lagi.

“Aku lebih takut kalau kau yang mati,” jawabnya. “Sulit hidup jadi janda, apalagi kalau punya anak.”

“Tenang, aku kan punya asuransi jiwa. Mana mungkin aku ninggalin kau gitu aja.”

Chika tidak menjawab. Dia cuma memasang ekspresi yang sulit dimengerti.

Aku terus memikirkan jawaban Chika seharian. Sembari terus menerus memandangi sticky notes di atas meja aku berandai-andai apa yang mungkin akan terjadi. Sejak saat itu aku belum menggunakan sticky note lagi karena aku sendiri tak yakin apa yang ingin kuketahui. Aku bisa saja memakainya untuk mengetahui nilai pasar saham tapi aku tak mau karena itu pasti berujung pada kecanduan.

Namun pertanyaan Chika benar-benar membuatku dilema. Apakah sebaiknya aku tahu? Atau tidak? Jika aku tahu kapan aku mati maka aku bisa membuat rencana yang lebih matang dalam hidup, tapi jika umurku lebih pendek dari yang kuharapkan bukankah itu hanya akan membuatku takut?

Di saat otakku masih berdilema, tanganku sudah menggenggam pulpen. Mungkin tanpa sadar aku tahu apa yang kuinginkan, tapi otak masih mencari alasan logis untuk membenarkan hal tersebut. Aku ingin tahu kapan aku akan mati karena aku lebih memperdulikan hidup Chika dibanding hidupku sendiri. Jika aku berumur panjang maka aku bersyukur, tapi jika tidak maka aku harus bekerja keras untuknya di sisa hidupku.

“Pak Milo? Belum pulang?”

Tanpa sadar langit sudah mulai gelap. Brian yang tampaknya hendak pulang terkejut melihatku masih di kantor. Sudah tak ada pekerja lain yang terlihat. Aku benar-benar melamun terlalu lama.

“Ahh iya, sebentar.”

Aku pun menulis pertanyaan itu di sticky note. Entah siapa yang akan menjawab pertanyaan ini. Entah itu dewa atau roh yang mengetahui masa depan. Aku hanya berharap ketakutanku hanyalah ilusi belaka.
Namun jawaban yang tertulis keesokan harinya adalah yang terburuk di antara yang terburuk.

11 September 09:00.

Itu adalah tanggal hari ini. Waktunya hanya tiga puluh menit tersisa.

***


THIRD PERSON POV

Semua orang merasakan kejanggalan saat melihat Milo datang ke kantor hanya untuk meminta ijin tidak masuk. Milo si pegawai teladan merasa tidak enak badan. Saking tidak enak badannya dia meminta Yono si OB untuk mengendarai mobilnya pulang. Milo yang mereka kenal tak akan pernah membiarkan sakit apa pun mengganggu pekerjaannya.

Kejanggalan itu berubah menjadi firasat buruk dan benar saja, tak sampai setengah jam mereka mendapat panggilan mengerikan dari Yono.

“Pak Milo meninggal!”

Rasanya seperti sambaran petir di sore yang cerah. Mereka bergegas berganti arah tujuan dari pulang ke rumah masing-masing menjadi ke rumah sakit. Brian yang mendengar itu berniat menghubungi Chika, tapi akhirnya memutuskan langsung menemui Chika di rumahnya.

“Milo meninggal.”

Tanpa basa-basi Brian langsung menyampaikan berita itu. Chika membatu untuk beberapa saat. Wajahnya menampilkan campuran ekspresi bingung dan takut. Bibirnya bergera-gerak seolah mengunyah kata-kata yang harusnya dia ucapkan. Saat informasi itu terproses sepenuhnya dia pun menarik napas.

“YESSSSS!!!!”

Sorakan keduanya memenuhi ruangan. Kedua saling bertukar tos dan berpelukan.

“Buat bulan madu gimana kalau kita liburan ke Bali? Tiketnya belum dipake kan?”

“Belum dong! Kan aku nungguin kamu.”

Keduanya pun bersulang penuh kemenangan.

Semua ini adalah rencana yang tersusun matang. Apa yang tak Milo ketahui adalah Brian dan Chika bermain api di belakangnya. Mereka berdua bukan cuma sekedar teman Sma, tapi sepasang kekasih di masa lalu. Pertemuan kembali di acara kantor dengan mudah membangkitkan kembali perasaan lama. Keduanya pun merajut cinta tanpa pengetahuan siapa pun.

Cinta itu semakin besar hingga hasrat untuk saling memiliki tercipta. Namun bagaimana caranya? Reputasi keduanya bisa hancur jika Chika bercerai lalu menikah dengan Brian. Tak ada yang tahu harus bagaimana jadi mereka cuma menunggu dan membiarkan waktu berlalu.

Titik awal rencana itu awalnya cuma sekedar iseng. Brian sengaja menulis nomor undian di sticky note Milo. Setidaknya dengan cara itu dia bisa memberi hadiah pada Chika. Namun kemudian sebuah rencana muncul begitu saja. Bagaimana jika dia membuat Milo percaya akan jawaban dari masa depan? Bagaimana jika dia bisa menggiring Milo menuju kematiannya?

Siapa yang menyangka rencana itu sukses? Sekarang Milo sudah tiada. Rumah dan asuransi jiwa jatuh ke tangan Chika. Mereka bisa memulai hidup bersama mulai sekarang.

Panggilan telepon masuk dan memecah suasana perayaan mereka. Brian mengangkat panggilan yang masuk. Perlahan-lahan senyumnya hilang berganti dengan kepanikan.

“Bri? Kamu kenapa? Ada yang sakit?”

Tak sempat Brian menjawab pintu langsung terbuka menampilkan Milo dengan dua orang polisi di belakangnya. Chika berteriak kaget. Kok bisa Milo ada di sini? Bukankah harusnya ….

“Ya, aku masih hidup.” Dengan berlinang air mata Milo tersenyum pada istrinya. “Maaf membuatmu kecewa.”

“Kok bisa?” Brian bertanya sama paniknya. “Tapi tadi Yono—”

“Aku yang suruh Yono berbohong. Aku tahu kau mau bunuh aku, Brian. Aku juga tahu kau yang tulis semua jawaban itu.”

Milo mulai merasa curiga saat kemarin Brian bertanya mengapa dia belum pulang. Sepengetahuan Milo, Brian selalu pulang cepat jadi aneh jika dia berada di kantor saat yang lain sudah pulang. Setelah bertanya pada Yono Milo pun tahu Brian sudah beberapa hari ini pulang malam. Jika ternyata Brian lah yang menuliskan jawaban itu maka tiga kasus sebelumnya bisa dijelaskan.

Kasus pertama, Brian lah yang membacakan nomor pemenang undian. Dia bisa saja mengambil nomor mana saja dan berpura-pura bahwa nomor 1244 lah pemenangnya.

Kasus kedua, Brian dan bos punya hubungan baik jadi masuk akal jika Brian menanyakan status kedatangan bos esok hari.

Kasus ketiga … sebenarnya Milo tidak punya bukti, tapi jika dia memasukkan ketakutannya maka semua jadi masuk akal. Bagaimana bisa pemberi jawaban tahu warna pakaian dalam Chika esok hari? Itu karena dia menyuruh Chika memakainya. Keduanya berselingkuh dan keduanya bekerjasama membunuh Milo.

Jawaban Chika tentang mengetahui waktu kematian adalah umpan. Brian menetapkan jam 9 pagi sebagai waktu kematiannya karena dia tahu Milo akan bergegas pulang untuk menemui Chika terakhir kalinya.

“Kau mengutak-atik mesin mobilku agar aku kecelakaan karena mengebut untuk pulang. Aku punya bukti. Aku menyuruh Yono mengawasi mobilku saat aku datang dan dia merekam aksimu. Brian, aku sudah melaporkanmu ke polisi. Menyerahlah dengan patuh.”

Keputusasaan memenuhi wajah Brian yang sudah sepucat mayat. Kakinya seolah kehilangan tenaga dan dia pun jatuh berlutut. Kedua polisi yang Milo bawa bergegas menahannya.

“T-tapi kau tahu dari mana kalau itu aku? Bisa saja itu benar-benar jawaban dari masa depan!”

Milo tertunduk menatap sepatunya. Dia tersenyum hampa merenungi kebodohannya.

“Aku juga tak yakin, makanya aku buat sedikit tes. Kemarin aku menulis dua pertanyaan. Satu tentang kematian dan satu lagi kusembunyikan di balik sticky note yang lain. Saat kucek pagi ini ternyata sticky note yang tersembunyi itu tidak tersentuh. Dari situ aku tahu kalau ini cuma ulah manusia.”

Polisi pun membawa Brian pergi. kini hanya ada Chika dan Milo. Keduanya saling tatap. Milo menatap dengan tenang dan kecewa, sementara Chika masih diselimuti ketakutan.

“A-aku nggak tahu apa-apa. Sayang, ini apa maksudnya? Brian tadi bilang kamu meninggal, tapi kamu—”

“Nggak usah pura-pura,” ucap Milo pelan. “Aku udah curiga dari awal jadi aku taruh perekam suara di bawah sofa. Aku … dengar semuanya.”

Segalanya memang sudah aneh sejak awal, tapi Milo masih mencoba untuk percaya. Sekarang semuanya terbongkar dan itu menghancurkan hatinya berkeping-keping.

“Mulai sekarang … kita cerai.”

***


Milo mengemasi barang-barangnya di atas meja. Hari ini adalah hari yang berat dan melelahkan. Dia harus berkali-kali menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada bos dan rekan kerjanya. Semakin banyak dia bercerita semakin sakit rasanya.

“Pak Milo mau resign ya?” tanya Yono di belakangnya.

“Nggak kok. Cuma cuti aja beberapa waktu.”

Milo membuka laci meja dan melihat tiket liburan ke bali tersimpan di sana. Dia mengambil tiket itu dan memberikannya ke Yono.

“Nih, makasih ya udah bantuin aku.”

“Lo? Bapak serius nih?”

“Iya, pakai aja buat istrimu. Aku juga udah nggak punya orang buat diajak.”

“Yang sabar ya Pak. Ikan di laut masih banyak. Saya kasih tau ya, itu Mirna dari accounting naksir lo sama Bapak.”

Milo hanya tersenyum mendengarnya.

Dia sudah selesai membereskan barang, sekarang hanya tinggal sticky note yang tersisa. Perasaan Milo campur aduk, tapi pada akhirnya dia memilih membiarkan sticky note itu tetap pada tempatnya sebagai pengingat yang tak boleh terlupa.

Milo merasa dia harus menambah satu sticky note lagi. Tanggal hari ini, tanggal perceraiannya. Milo mengangkat pulpen lalu berhenti. Akhirnya dia pun tak jadi menulis apa-apa.

Dia tak mungkin bisa melupakan hari ini. Tidak akan pernah.

***TAMAT***
Diubah oleh ih.sul 07-03-2024 18:40
djurgardensAvatar border
riodgarpAvatar border
twiratmokoAvatar border
twiratmoko dan 11 lainnya memberi reputasi
12
756
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan