Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Susahnya Buruh Murah Punya Rumah di Jogja
https://jogjapolitan.harianjogja.com...rumah-di-jogja

Susahnya Buruh Murah Punya Rumah di Jogja

Selasa, 11 Oktober 2022 - 06:17 WIB

Kondisi permukiman warga di bantaran Sungai Gajah Wong yang membelah DIY antara Kabupaten Bantul (kiri) dan Kota Jogja (kanan) - Harian Jogja/Sunartono
Advertisement

Warga Jogja semakin sulit memiliki rumah layak huni. Upah buruh yang jauh di bawah rata-rata nasional tak mampu mengimbangi kenaikan harga tanah gila-gilaan hingga 20 persen setahun di DIY yang memicu lonjakan harga rumah. Pemerintah harus serius mencegah warga DIY menjadi tunawisma. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Bhekti Suryani dan Sunartono.
Tangan Suripah tergopoh-gopoh meraih botol obat bertuliskan huruf mandarin dari atas meja. Segera ia membuka penutup botol.  Perlahan perempuan paruh baya itu menuangkan cairan obat ke dalam sendok dan langsung meminumkannya ke putrinya Angela yang masih duduk di kelas 3 SD.

Angela menangis menahan sakit saat berusaha minum obat, sambil memeluk bantal di lantai semen yang beralaskan tikar plastik. Bocah sembilan tahun itu sudah beberapa hari ini sesak napas. Bila cuaca mulai dingin, napasnya mulai berat.

Sejak balita, Angela divonis memiliki penyakit asma yang sewaktu-waktu bisa kambuh. Penyakit bocah malang ini bertambah berat karena selama ini ia tinggal di rumah dengan kondisi seadanya sehingga rawan terkena masalah kesehatan, seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
“Biasanya kambuh kalau dingin atau kecapaian. Kebetulan sejak dia bayi saya ajak tinggal di sini,” kata Suripah menjelaskan kondisi kesehatan anaknya saat ditemui di tempat tinggalnya, Sabtu (8/10/2022) lalu.  
Sebagai orang tua tunggal, Suripah harus banting tulang menghidupi keluarga. Sore itu, ia baru saja tiba di tempat tinggalnya di RT 53 RW 06 Muja Muju, Umbulharjo, Kota Jogja. Sehari-hari, Suripah bekerja serabutan. Kadang jadi pekerja rumah tangga, mulai dari mencuci baju, membersihkan rumah hingga melayani pesanan makanan. Beberapa kali, Suripah sempat mencoba peruntungan berjualan beragam jenis makanan, tetapi sering merugi. Kini ia lebih memilih menawarkan jasa sebagai pekerja rumah tangga kepada orang yang membutuhkan.
Keluarga Suripah menempati bangunan semi permanen tanpa teras di atas tanah magersari (milik Kraton Jogja) sejak 2013 lalu. Bangunan selebar sekitar 3,5 meter dan panjang sekitar 9 meter itu berdindingkan bata yang tidak dihaluskan. Sedangkan atapnya berbahan asbes yang disangga batang bambu. Adapun ruangan dipisahkan menjadi tiga ruang dengan dua pintu masuk.
Paling ujung timur merupakan dapur dan kamar mandi ekstra sempit dengan lantai tanah yang dindingnya sebagian asbes. Bagian tengah dijadikan tempat tidur yang dilengkapi sebuah kasur busa. Sedangkan paling ujung barat dijadikan ruang tamu sekaligus tempat tidur dengan dipan kecil. Agar lebih nyaman, dua ruangan ini alasnya dibeton dan ditutup tikar plastik.
Di bagian depan bangunan terdapat halaman sempit dengan lebar sekitar dua meter yang digunakan untuk memarkir motor serta tempat sejumlah perkakas milik keluarga Suripah. Di rumah itu, ia tinggal bersama dua anaknya, yang satu duduk di bangku kelas 3 SD dan satunya lagi sudah dewasa.

Suripah merupakan salah satu dari ribuan warga di DIY dengan status masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan tidak memiliki rumah layak huni. Sewa lahan sebagai tempat tinggalnya sekarang akan habis pada 2023 mendatang. Mau tidak mau,  ia harus  hengkang dan mencari tempat tinggal di tempat lain. Ia mengaku belum tahu akan pindah ke mana dan berharap agar pemerintah memberikan pertolongan.
Beli rumah? sangat mustahil baginya. Mimpi memiliki rumah seolah menjadi asa yang harus dipendamnya dalam-dalam. Suripah sudah berusaha mencari informasi kontrakan rumah sederhana di area Kota Jogja, namun rata-rata di atas Rp10 juta per tahun. Baginya sudah terlalu berat dengan hanya mengandalkan pekerjaan dengan penghasilan tak menentu. Ia tak mampu mengungkapkan kepastian berapa besar upah yang diperolehnya setiap bulan, namun memperoleh Rp2 juta dari hasil serabutan dalam sebulan, itu sudah nominal fantastis baginya. 
“Semoga saja ada jalan untuk dapat tempat tinggal. Seperti saat ini karena sewa sudah mau habis, ya harus berfikir lagi mencari tempat tinggal, stres juga kadang tetapi harus saya jalani. Saya carinya yang sederhana saja,” katanya.
Advertisement


Selama tinggal di Jogja sejak puluhan tahun silam, ia sudah beberapa kali pindah rumah. Mulai dari indekos, menyewa hingga menempati rumah kosong. Sebagai penduduk ber-KTP Jogja, ia pernah merasakan program KMS (Kartu Menuju Sejahtera), meski saat ini tak lagi terdaftar. Perempuan kelahiran 1973 ini menyadari dampak negatif menempati rumah tidak layak huni. Bukan hanya risiko kesehatan yang mengancam, melainkan juga psikologi hingga sosial. Rumah yang sempit membuat anaknya yang masih SD tidak leluasa bermain di rumah. Dari sisi kesehatan, salah satu yang dirasakan adalah anaknya sampai saat ini masih sering sesak napas. Setiap hari anaknya harus tidur di atas kasur di lantai.

Di tempat lain, seorang buruh yang bekerja di sebuah hotel di Jogja Aisyah Putri Savitri lebih beruntung dibandingkan Suripah. Perempuan yang biasa disapa Puput ini juga belum memiliki rumah mandiri meski sudah berkeluarga. Ia tinggal di sebuah indekos di kawasan Jalan Perjuangan, Maguwoharjo, Depok, Sleman. Di indekos tersebut ia patungan dengan teman sesama pekerja masing-masing Rp750.000 per bulan untuk menyewa sebuah kamar berukuran sekitar 20 meter persegi, karena harga sewa satu kamar Rp1,5 juta.
Meski kamar mandi di luar, namun menurutnya indekos tersebut sedikit nyaman dibandingkan indekos di area Kota Jogja dengan harga yang sama. Sebelumnya ia sempat tinggal di indekos kawasan Jetis, Jogja dengan harga Rp550.000 per bulan dengan sebuah kamar berukuran enam meter persegi. Ukuran tersebut hanya cukup untuk menempatkan kasur busa tempat tidur sehingga ia tidak leluasa bergerak.

“Kalau sekarang itu sudah agak nyaman, tetapi saya mengajak teman biar agak ringan, harga Rp1,5 juta patungan jadi masing-masing Rp750.000, kalau dipakai bayar Rp1,5 juta bagi saya berat,” ucapnya.
Ini merupakan indekos yang keenam kalinya sejak ia bekerja pada 2013. Sejak itu hingga sekarang ia telah berpindah-pindah mulai dari kawasan UNY Karangmalang, Condongcatur dan Pogung Lor di Sleman, Bantul hingga Jetis Kota Jogja. "Kalau di area kota, kondisinya sempit, bahkan yang saya tempati di Jetis itu hanya cukup untuk kasur busa,” ucapnya.
Dari hasilnya bekerja di Jogja, Puput biasa mendapatkan gaji dengan rentang antara Rp3 juta hingga Rp4 juta sebulan. Jumlah itu sangat tergantung dengan ramai atau tidaknya tamu hotel. Buruh perhotelan memang memiliki kelebihan mendapatkan uang service atau layanan sesuai dengan jumlah tamu. Uang service ini menguntungkan terutama bagi pekerja baru yang biasanya hanya mendapatkan gaji setingkat Upah Minimum Provinsi (UMP) selama beberapa bulan. Namun, Selama pandemi Covid-19, Puput dan pekerja hotel lainnya hanya menerima gaji maksimal Rp1,5 juta selama enam bulan karena tamu hotel sangat sepi. “Kalau enggak ada itu [uang service], ya kami sama seperti yang lain, karena gaji pokok kami rendah sesuai upah minimum,” ucapnya.

Keinginan untuk memiliki hunian sendiri yang layak telah lama ia idamkan. Beberapa kali ia menyurvei rumah bersubsidi, salah satunya dengan harga Rp150 juta di kawasan Bantul, namun ternyata rumah itu sudah laku terjual. Ia curiga rumah bersubsidi ini tidak tepat sasaran, dibeli oleh orang yang sudah memiliki rumah dan sekadar hanya untuk investasi dan tidak ditinggali. Jika ini yang terjadi, jelas ini tindakan culas. Di sisi lain, ia menemukan adanya bangunan rumah subsidi yang kadang kurang layak bangunannya.

Puput menjadi salah satu dari sekian banyak para aktivis buruh di Jogja yang berusaha untuk memperjuangkan agar buruh dengan penghasilan rendah dapat memiliki rumah atau tempat tinggal yang layak. Pasalnya kata dia, harga tanah di Jogja terus melambung setiap tahun, bahkan setiap semester naik. Di kawasan luar Ringroad, harga tanah paling murah di atas Rp3 juta per meter persegi. Padahal UMP wilayah DIY tergolong kecil, hanya Rp1.765.500 pada 2021, jauh di bawah rata-rata UMP nasional sebesar Rp2.684.743.
Alhasil, sangat tidak sebanding antara pendapatan dengan jumlah yang akan dikeluarkan untuk membeli tanah atau mengangsur kredit rumah. “Sangat ingin punya rumah sendiri tetapi bujetnya belum sampai. Kami para buruh sudah sejak lama memperjuangan perumahan untuk para buruh namun belum terwujud,” katanya.

Minimnya upah dibandingkan dengan tingginya harga tanah dan rumah di DIY menjadi salah satu kendala bagi buruh untuk mendapatkan rumah layak huni. Baginya dengan gaji yang didapatkan, ia akan berfikir ulang ketika harus memiliki cicilan rumah dengan rentang Rp1 juta atau Rp2 jutaan per bulan. Pertimbangan lain adalah kondisi perusahaan. Ketika harus memiliki angsuran kredit perumahan, Puput khawatir jika sewaktu-waktu perusahaan memutus kontrak sehingga tidak memiliki pemasukan tetap. “Banyak yang harus dipertimbangkan ketika akan mengajukan kredit perumahan,” ucapnya.

Kondisi rumah Suripah di bilangan Umbulharjo, Jogja beberapa waktu lalu/Harian Jogja-Sunartono
Semakin Susah Punya Rumah Layak

Cerita Suripah dan Puput hanya potret kecil susahnya warga DIY yang belum memiliki hunian layak, akibat timpangnya pendapatan dan harga hunian. Harianjogja.com, mengumpulkan sejumlah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai akses terhadap hunian layak di DIY sepanjang 2015-2021. Hasilnya menunjukkan, persentase akses terhadap hunian layak di wilayah ini semakin mengecil dari tahun ke tahun. Artinya, warga Jogja semakin susah memiliki rumah layak huni. Pada 2015 misalnya, persentase akses terhadap hunian layak masih mencapai 98,77 persen atau hampir 100 persen warga DIY bisa mengakses hunian layak. Namun data terakhir 2021, persentase akses terhadap hunian layak melorot menjadi 85,15 persen. Berikut data lengkapnya dari tahun ke tahun:


Dari sisi persentase kepemilikan rumah, Kota Jogja diketahui menjadi wilayah dengan kepemilikan rumah paling kecil dibanding daerah lainnya di DIY. Data ini masuk akal, karena wilayah ini menjadi pusat bisnis dan pendidikan di DIY yang menjadi tujuan banyak orang.

 
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
1
2.5K
37
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
anti.liberalAvatar border
anti.liberal
#10
KTP NGENDI ???
0
Tutup