Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Menggugat Kinerja Pengawasan BPOM
Menggugat Kinerja Pengawasan BPOM
Kamis, 17 November 2022 11:15




Kepala BPOM RI Penny K Lukito. ©2022 Liputan6.com/Faizal Fanani
Suasana rapat kerja Komisi IX DPR dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Rabu 2 November lalu memanas. Anggota Fraksi Partai Amanat (PAN) Saleh Partaonan Daulay tak terima dengan pernyataan Kepala BPOM Penny K Lukito.
Saleh menilai BPOM melempar tanggung jawab dalam kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia, yang membuat 323 orang tertular dan sebanyak 190 orang meninggal dunia, berdasarkan data hingga awal November yang dirilis Kementerian Kesehatan.


"Ini kan masalahnya penyalahgunaan fungsi yang etilen glikol (EG) digunakan untuk apa, berarti kan barangnya ada beredar di sini. Kemudian kenapa saling lempar ke Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Nanti jangan-jangan ujungnya ke presiden," ucap Saleh.
Saleh bahkan sempat menanyakan hal tersebut kepada Kementerian Perdagangan, dan jawaban mereka selama ini zat-zat kimia yang tidak dilarang itu diperbolehkan diimpor dan masuk melalui Kemendag.
 
"Sama seperti formalin, memang boleh Ibu larang formalin beredar? kan tidak, karena dia pengawet mayat, sah untuk digunakan. Tapi tidak boleh digunakan sebagai pengawet makanan," imbuh Saleh.
Dalam rapat itu, Penny menjelaskan mengapa BPOM tidak memeriksa dan mengawasi bahan baku pelarut propilen glikol yang dalam prosesnya membuat obat sirop tercemar senyawa kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DG).
Penny berdalih, bahan baku obat sirop yang kemudian bermasalah ini masuk ke Indonesia melalui surat keterangan impor (SKI) Kemendag.
"Khusus untuk pelarut PG (propilen glikol) dan PEG (polietilen glikol) ini masuknya tidak melalui SKI BPOM, tapi melalui Kementerian Perdagangan, non larangan dan pembatasan (lartas)," kata Penny dalam pemaparannya di hadapan anggota Komisi IX DPR.
 
Selama ini, untuk bahan-bahan kimia dalam kategori pharmaceutical grade dan lartas, dilakukan pengawasan ketat dan wajib mendapatkan izin BPOM. Sedangkan bahan pelarut seperti PG dan PEG, masuk dalam kategori technical grade dan non lartas. Tugas pengawasannya berada di Kementerian Perdagangan.
Penny menambahkan, zat-zat tersebut merupakan pelarut yang biasa dipakai dalam industri cat hingga tekstil. Harganya lebih murah.
"Ada perbedaan sangat besar antara bahan baku dalam bentuk pharmaceutical grade dengan bahan baku yang hanya untuk industri kimia lainnya. Tentunya perbedaan harga ini dapat dimanfaatkan oleh para penjahat itu," kata dia.
Mengacu pada kejadian ini, Penny mengusulkan revisi SK importasi PG dan PEG, ke depannya harus melalui BPOM.
 
"BPOM mengusulkan agar terdapat revisi pada skema importasi PG dan PEG dengan menjadi kategori lartas. Sehingga nantinya, importasi kedua senyawa itu harus melalui persetujuan atau SKI BPOM," tukas Penny.

Pengawasan BPOM Dinilai Pasif

Penjelasan yang disampaikan Penny itu dalam penilaian anggota Komisi IX DPR Elva Hartati justru menunjukkan fungsi pengawasan BPOM dilaksanakan secara pasif.
"Disebutkan pemilik izin obat wajib melakukan pemantauan khasiat, keamanan dan mutu obat selama obat diedarkan dan melaporkan hasil kepada BPOM. Kami melihat bahwa dalam hal ini posisi Badan POM dalam melakukan pengawasan obat secara garis besar bersifat pasif," kata Elva dalam rapat kerja dengan BPOM.
Elva menegaskan, BPOM harus terlibat lebih aktif dalam mengusut pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam industri farmasi, baik terkait dengan kasus yang merebak saat ini maupun pengawasan berkala. Harus ada tindakan tegas melalui jalur hukum bagi industri yang menyalahi aturan.
 
"Izin edar itu dari mana kalau bukan dari BPOM? Ini harus dikejar dulu, harus ditindak dengan hukum pidana. Ini tetap harus ditelusuri," ujar politisi PDIP asal dapil Bengkulu tersebut.
Pernyataan lebih keras dilontarkan anggota DPR dari Partai Golkar Robert Joppy Kardinal. BPOM tak bisa mengelak dari tanggung jawab pengawasan, dan harus ada pihak yang bertanggung jawab. Dia mendesak pejabat BPOM mundur.
"BPOM dan aparatnya yang ikut bertanggung jawab sebaiknya meletakkan jabatan atas kelalaian mereka. Tidak perlu menunggu dipecat. Ini terjadi karena BPOM tidak bekerja. Karena itu pejabat di BPOM ini sudah layak dipecat dan dituntut pidana," ucap Robert 3 November 2022 lalu.
Sorotan terhadap kinerja BPOM juga disampaikan anggota Komisi IX DPR Suir Syam. Pengawasan yang dilakukan BPOM tidak hanya pada tahap pre market, tapi harus berlanjut pada post market. Termasuk terhadap pabrik farmasi yang nakal karena ditemukannya kandungan EG dan DG yang jauh melampaui batasan dalam obat sirop.
 
"Ini suatu kejahatan kemanusiaan oleh pabrik farmasi. Aparat berwajib tentunya perlu melakukan tindak lanjut," tegasnya ketika dihubungi merdeka.com pekan lalu.
Politisi Gerindra itu menduga ada pihak-pihak yang ingin menyebabkan ratusan jiwa anak melayang karena menggunakan bahan pelarut obat dengan biaya yang lebih murah. Meski begitu, dia memaklumi jika BPOM tidak bisa melakukan pengawasan terus menerus terhadap industri farmasi.
"Jadi saya minta juga BPOM untuk meneruskan kasus ini ke penyelidikan untuk lebih lanjut," ujarnya.

Proses Panjang Mendapati Izin Edar Obat

Butuh waktu hingga tahunan sampai sebuah obat bisa dijual ke masyarakat. Proses panjang harus dilalui produsen farmasi agar obat yang diproduksi dinyatakan aman dan mendapat izin edar.

Sayangnya, proses ketat itu tidak berlanjut pada proses post market. Dalam beberapa kasus, ada industri farmasi memberikan sampel yang berbeda untuk diuji BPOM. Demikian juga dengan proses audit rutin yang jarang dilakukan BPOM setelah obat beredar di masyarakat.
Cerita itu diungkapkan oleh Yeni Oktaviani, seorang supervisor quality assurance di sebuah pabrik obat asal luar negeri yang memiliki cabang di Indonesia. Sebagai perusahaan farmasi dengan standar Eropa, kantornya selalu melakukan audit rutin tahunan terhadap obat-obat yang telah mendapat izin edar. Sedangkan audit dari BPOM tidak rutin dilakukan.
"Kadang dalam setahun enggak ada. Kadang tiba-tiba ada. Kalau kita industri, senang tuh kalau enggak ada audit, hahaha...," tuturnya kepada merdeka.com awal November lalu.
Yeni mengakui, BPOM telah menjalankan tugasnya dengan baik. Untuk mendaftarkan jenis obat baru, tahapan dimulai dari registrasi berbagai dokumen secara online melalui situs yang disediakan. Mulai bahan baku obat hingga tahapan produksi.

Produsen farmasi juga melakukan uji coba terlebih dahulu sebelum mendaftarkan berbagai dokumen persyaratan BPOM.
"Biasanya kita trial dulu. Ketika trial sudah oke data-data sudah oke, baru kita submit ke badan POM. Nanti data yang kita submit itu dievaluasi, relevan enggak bahan baku yang dipakai. Itu nanti dicek sama mereka (BPOM). Kalau sudah oke semuanya, baru mendapatkan approval," ujarnya.
Selain validasi dokumen, BPOM juga melakukan validasi metode sesuai standar Farmakope Indonesia yang diatur dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Salah satu yang diuji adalah data stabilitas obat yang didaftarkan setelah melalui trial oleh produsen. Uji stabilitas itu dilakukan per zona.
"Kalau di Indonesia kan zona tropis, itu nanti dilihat data stabilitas on going, sama data stabilitas yang dipercepat yang di suhu tinggi. Kalau hasilnya memenuhi persyaratan biasanya baru dapat approval. Tapi kalau datanya tidak bagus, kita enggak akan dikasih lanjut registrasinya. Dihentikan di situ," kata Yeni.

BPOM juga akan meminta data hasil uji klinis untuk dievaluasi. Yeni mengungkapkan, produsen farmasi melakukan sendiri uji klinis sebuah obat kepada manusia dan hewan.
"Untuk mendaftarkan obat baru itu memang berat. Jadi ada data klinis dan non klinis, terus ada data quality, data produksi, nanti dievaluasi," ujarnya.
Approval itu kemudian harus melalui persetujuan Komnas Penilai Obat dan Makanan yang anggotanya merupakan ahli-ahli di bidang masing-masing. Yeni mencontohkan, misal obat yang diajukan adalah obat batuk, maka anggota Komnas yang menguji adalah profesor atau ahli di bidang batuk. Demikian juga untuk obat pencernaan, ahli yang akan menguji adalah profesor di bidang penyakit dalam.
"Lalu nanti ada farmakolog-nya sendiri, terus ada orang yang ahli di bidang industri. Jadi sebenarnya kalau dari sisi registrasi, yang saya alami selama ini sudah cukup ketat," ujar Yeni.

Pun setelah mendapatkan approval letter dari BPOM, Yeni melanjutkan, produsen tidak langsung mendapat izin edar. Dalam tahap ini, produsen obat sudah diizinkan untuk melakukan produksi untuk skala industri komersial.
Proses berlanjut pada penyerahan dokumen produksi. BPOM kemudian melakukan audit on site yakni dengan mendatangi pabrik obat untuk memeriksa bahan baku, cara produksi, peralatan yang dipakai, dan sampel obat hasil produksi.
Audit on site dilakukan BPOM untuk mencocokkan data yang diserahkan produsen dengan data dan proses produksi yang dilakukan di pabrik.
"Nanti setelah audit, biasanya ada temuan atau ada yang mesti dilengkapi. Jika sudah memenuhi semua temuan dan misalnya ada dokumen yang harus dilengkapi itu nanti terbit nomor izin edar," jelasnya.

Proses panjang itu, lanjut Yeni membutuhkan waktu lama. "Itu bisa dua hingga tiga tahun. Itu satu tahun sudah dapat approval saja sudah hebat banget," ujarnya.
Soal kasus GGAPA gara-gara obat sirop, Yeni menduga, hal itu bisa terjadi karena fungsi pengawasan BPOM yang tidak maksimal.
"Karena kan itu kan beda-beda ya. Bagian registrasi sendiri, bagian audit sendiri. Nah itu mungkin suka ada miss-nya di situ," pungkasnya.
Penjelasan yang disampaikan Yeni itu diamini oleh Corporate Communication PT Phapros, Zahmilia Akbar. Selama proses pembuatan obat, BPOM melakukan pengawasan dan memastikan bahwa setiap proses pembuatan dijalankan sesuai dengan kaidah-kaidah yang tercantum dalam CPOB.

Mila, sapaan akrabnya, menjelaskan, pada saat perusahaannya membuat sebuah produk obat baru, sebelum mendapatkan nomor izin edar produk, BPOM memeriksa jalannya pengembangan produk dari awal trial hingga hasil dari uji stabilitasnya.
"Fasilitas produksi harus memiliki sertifikat CPOB sebelum digunakan untuk produksi obat secara komersial," ujarnya kepada merdeka.com.
Evaluasi obat, lanjut Mila, dilakukan saat tahapan pre-market dan post-market. Khusus untuk evaluasi post-market BPOM mengambil sampel obat di pasaran.
"BPOM juga secara berkala mendatangi Phapros serta industri farmasi lain untuk melakukan audit. Jika ada kebutuhan khusus, BPOM juga kerap melakukan inspeksi mendadak ke industri-industri farmasi yang ada," jelasnya.

Mila membantah jika ada tahapan prosedur yang bisa 'dimainkan' selama proses pendaftaran hingga izin edar keluar dari BPOM. "Tidak ada sama sekali."
Setelah mendapatkan izin edar, Mila mengatakan, produsen wajib melakukan pelaporan farmakovigilans secara berkala kepada BPOM. Sedangkan produsen wajib memantau produk yang beredar di pasaran dari sampel yang disimpan dan diambil dari setiap batch produk yang diproduksi, termasuk mengecek melalui uji stabilitas produk.
"Jika ada keluhan di masyarakat, produsen wajib menanganinya sesuai prosedur penanganan keluhan pelanggan, baik keluhan mutu maupun kejadian tidak diinginkan," pungkasnya.

BPOM Telusuri Motif

BPOM menyatakan hingga kini masih menyelidiki penggunaan bahan pelarut yang mengandung etilen glikol dan dietilen glikol dalam obat sirop. Melalui wawancara tertulis, Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, belum terbukti bahwa produsen dalam hal ini industri farmasi sengaja menggunakan bahan baku yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas aman.

Penny mengatakan, dugaan perbedaan harga antara pelarut pharmaceutical grade dengan technical grade merupakan salah satu motif pelaku usaha mengubah pemasok Bahan Baku Obat (BBO) dan menggunakan BBO yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dengan cemaran EG pada bahan baku melebihi ambang batas aman yaitu tidak lebih dari 0,1%.
"Motif sebenarnya dari kasus ini masih harus didalami lebih lanjut," ujarnya.
Sejauh ini, dari temuan yang ada, BPOM telah memberikan sanksi administratif berupa penghentian produksi, distribusi, penarikan kembali (recall) dan pemusnahan produk.
Untuk pelanggaran ketentuan dan persyaratan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), industri farmasi tersebut diberikan sanksi administratif berupa pencabutan Sertifikat CPOB untuk fasilitas produksi cairan oral non betalaktam.

"Seluruh izin edar produk cairan oral non betalaktam dari industri farmasi tersebut juga dicabut," imbuh Penny.
Penny mengakui, belum ada standar internasional yang mewajibkan pengujian cemaran EG/DEG pada produk obat jadi. Saat kasus GGAPA melonjak, laboratorium BPOM melakukan pengujian kandungan EG dan DEG pada sampel sirup obat menggunakan metode analisis dengan Kromatografi Gas Spektroskopi Massa (GCMS) yang merupakan hasil pengembangan dan validasi oleh Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN).
Sedangkan pengujian EG dan DEG pada bahan tambahan dilakukan dengan mengikuti metode sesuai Farmakope Indonesia Edisi VI dan US Pharmacopeia (USP) 2022. Metode analisis yang dikembangkan berdasarkan berbagai referensi, selanjutnya dilakukan validasi untuk membuktikan bahwa metode tersebut valid (benar) dan dapat digunakan untuk pengujian sampel.
Kepada industri farmasi, BPOM telah memerintahkan pengujian mandiri yang memproduksi obat sirop yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG pada produk jadinya. Hasil uji mandiri itu wajib dilaporkan kepada BPOM.

"Kemudian sebagai bentuk pengawalan kepada industri farmasi, BPOM merilis metode analisis yang merupakan hasil pengembangan dan validasi oleh Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN)," jelas Penny.
BPOM juga mengimbau masyarakat untuk lebih waspada, menjadi konsumen cerdas, dan memperoleh obat melalui sarana resmi, yaitu di apotek, toko obat berizin, puskesmas atau rumah sakit terdekat atau membeli obat secara online hanya dilakukan di apotek yang telah memiliki izin Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF).
Masyarakat juga diharapkan selalu menerapkan Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat.
"Pastikan kemasan produk dalam kondisi baik, baca informasi produk yang tertera pada label, dan produk telah memiliki izin edar BPOM serta belum melebihi masa kedaluwarsa," ujar Penny.

Terkait dugaan penyerahan sampel obat yang berbeda saat diuji BPOM, Penny menyebut kemungkinan itu bisa terjadi. Saat ini jumlah produk obat yang terdaftar di Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir tercatat sebanyak 24.493 produk. BPOM secara rutin dan melakukan tindakan regulatori berbasis risiko dengan pelaksanaan uji sampling.
"Oleh karena BPOM melakukan sampling berbasis risiko, maka tidak menutup kemungkinan bahwa sampel yang diserahkan produsen ke BPOM berbeda batch," pungkasnya. [bal]

https://www.merdeka.com/khas/menggug...asan-bpom.html
nomorelies
nomorelies memberi reputasi
1
1.3K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan