Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ofswsAvatar border
TS
ofsws
KODOK HIJAU
Mamat merasa gelisah, beberapa hari ini anaknya, Ujang, demam tinggi. Istrinya sudah rutin memberi obat penurun panas namun tetap saja demamnya tidak hilang. Tiap diberi obat, demam Ujang sempat turun. Namun, setelah empat jam demam itu datang kembali.

"Mat, gimana ini? Ujang demamnya belum hilang-hilang."

Tati melirik suaminya sambil memeras handuk kecil yang sudah direndam air hangat untuk kompres si Ujang.

"Hm, kita bawa ke Puskesmas aja ya."

Mamat menjawab sambil menghisap rokok Gudang Garam yang disematkan di antara jari telunjuk dan jari tengah. Dengan posisi duduk di kursi rotan andalan sambil mengenakan kaos oblong putih bergambar Garuda serta sarung cap 'Gajah Duduk' kesayangannya, dia tampak berfikir, kira-kira berapa banyak biaya yang akan dikeluarkan, mengingat dia belum dibayar dari hasil renovasi rumah pak Kades.

"Mat, jadi gimana? Kita bawa aja ya. Gadai dulu motormu. Nanti kita tebus kalau kamu sudah ada duit."

Sambil berjalan mendekati suaminya, Tati yang memakai daster cokelat motif bunga merah membawa kopi panas. Diletakkannya kopi itu di samping Mamat lalu dia ikut duduk di dekat suaminya sambil memandangi langit sore.

Saat sedang asyik berdiskusi untuk membawa Ujang ke Puskesmas, terdengar suara motor parkir di depan rumah mereka yang tampak sederhana. Rumah Mamat berdinding tripleks dan lantainya ditutup semen tanpa keramik.

Tampak seorang lelaki paruh baya turun dari motor menghampiri rumah mereka. Ternyata itu pak Kades membawa sebuah amplop cokelat di tangannya.

"Mat... Mamat. Di mana lu?"

Pak Kades mengetuk dinding rumah Mamat. Padahal jelas Mamat dan istrinya duduk di ruang tamu dengan pintu terbuka.

"Pak Kades... saya ya di rumah, Pak. Gak kelihatan apa?" Jawab Mamat ketus.

Dia kesal karena sudah berbulan-bulan pak Kades tidak membayar jasanya. Ada saja alasan pak Kades tiap ditagih. Memang, di desa mereka, pak Kades ini terkenal pelit padahal uangnya banyak.

"Ah, bisa aja lu, Mat. Ini, gue bawain duit lu. Gue dengar anak lu sakit ya?"

Pak Kades masuk ke ruang tamu dan langsung duduk di dekat Mamat tanpa permisi.
Tati yang melihat pak Kades datang langsung berdiri menuju dapur bersiap membuatkan secangkir kopi lagi.

"Kamu mau ngapain, Tat? Gak usah bikin kopi buat pak Kades. Dia kan gak suka!" Teriak Mamat mencegah istrinya.

"Ah, gak apa-apa, Mat. Kan pak Kades tamu."

"Iya, gue kan tamu, Mat." Jawab pak Kades sambil tersenyum. "Kopi pahit seperti biasa ya, Tat." Lanjutnya lagi sambil melirik Tati.

Wajah Mamat tampak cemberut lalu segera melanjutkan pembicaraan.

"Bayarannya udah semua kan, Pak. Ntar setengahnya lagi kayak kemaren-kemaren." Tanya Mamat sambil melirik amplop coklat yang dipegang pak Kades.

"Ya iyalah. Rejeki lu nih, Mat. Gue bayar lunas."

Pak Kades mengeluarkan segepok uang merah bergambar Soekarno-Hatta. Wajah Mamat langsung berseri-seri kala melihat uang itu.

"Bawa anak lu ke dokter ya. Nih, gue tambahin dua ratus ribu buat bensin."

Pak Kades mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan empat lembar uang lima puluh ribu, dan langsung diserahkan ke Mamat.

"Wah, makasih banyak ya, Pak. Habis kesambet apa nih, Pak? Dapat rejeki nomplok ya? Apa hasil korupsi?" Tanya Mamat sambil menghitung uang yang dibawa pak Kades.

"Hus, sembarangan, Lu. Itu hasil jual kebun gue yang dekat Bogor."

Pak Kades menjawab sambil memasukkan dompetnya kembali ke dalam celana hitamnya.

Tati datang membawa secangkir kopi panas lalu meletakkannya di atas meja rotan. Pak Kades dengan girang menikmati kopi itu.

"Ya udah, urusan gue udah kelar, udah gak ada utang lagi ya. Gue mau pulang."

Pak Kades berdiri dan melangkah keluar.

"Lho kok buru-buru, Pak?" Tanya Mamat sambil berdiri menyusul pak Kades.

"Udah mau Magrib, Mat. Udah dulu ya."

"Oh iya, Pak. Makasih ya, Pak."

Pak Kades segera menaiki motornya, lalu berjalan pergi meninggalkan rumah Mamat.

"Tati, kita dapat rejeki nih. Bisa bawa Ujang ke Puskesmas." Kata Mamat girang sambil memasuki kamar menemui istrinya.

"Wah akhirnya ya, Mat. Doa kita didengar." Jawab Tati bahagia.

Saat usai makan malam, Mamat hendak menuju kamar beristirahat. Tati sudah terlebih dulu di kamar merawat Ujang yang demammya masih naik turun. Mereka berencana pergi ke Puskesmas besok pagi.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu rumah Mamat.

"Tok... Tok..."

Mamat yang mendengar suara itu langsung berjalan menuju pintu dan membukanya. Ternyata ayahnya yang datang berkunjung.

"Lho, Pak. Sendirian? Ibu mana?"

"Iya, sendiri." Ayahnya Mamat langsung masuk ke rumah. "Ibu gak ikut. Dia jagain anaknya Badi."

Mamat menutup pintu lalu berjalan menuju ayahnya yang sudah berdiri di dekat pintu kamar Ujang.

"Gimana si Ujang? Udah mendingan?" Tanyanya kuatir.

"Masih naik turun panasnya, Yah." Jawab Tati yang  duduk di samping Ujang sambil sesekali mengganti kompresnya.

"Mat... sini, Mat." Panggil ayahnya.

Mamat langsung datang mendekat dan berdiri di samping ayahnya.

"Aku curiga, si Ujang diguna-gunain orang nih."

"Ha, guna-guna?" Mamat tampak terkejut.

"Masa masih ada jaman sekarang guna-guna begitu, Pak? Tanya Tati dari dalam kamar.

"Iyaaaa..." Jawab ayahnya Mamat serius. "Kita bawa ke Dukun aja. Pasti Dukun ada obatnya."

"Gak ah. Lagian besok kita udah mau bawa ke Puskesmas kok."

Mamat menjawab sambil berjalan lalu duduk di ruang tamu. Ayahnya ikut menyusul dan duduk di dekat Mamat.

"Ayolah, kita berdua aja dulu ke Dukun. Si Ujang gak usah dibawa. Aku sudah janjian sama Dukunnya." Bujuk ayahnya.

"Gak mau ah."

"Ayo dong, Mat. Kamu dulu juga waktu sakit ayah sering bawa ke Dukun, sembuh."

Ayahnya Mamat masih merayu.

"Senangin hati ayahmu ini, lagian ini kan untuk anakmu juga. Nanti biayanya ayah yang tanggung."

Mamat menarik nafas panjang, lalu berjalan masuk ke kamar menemui istrinya.

"Gimana, Tat?"

"Terserah kamu aja. Aku di rumah jagain Ujang."

Akhirnya malam itu, dengan motor, Mamat dan ayahnya pergi ke rumah Dukun yang terkenal di desa tetangga.

Mereka berdua, ayah dan anak pergi menembus dinginnya malam hingga tiba di rumah Dukun tersebut. Rumah si Dukun terlihat bagus, rumah yang terbuat dari tembok permanen. Di sekelilingnya banyak ditanami pohon-pohon besar. Disalah satu sisi taman rumah ada sebuah pohon beringin yang kelihatan angker saat malam.

Dengan percaya diri ayahnya Mamat turun dari motor dan berjalan ringan menuju rumah pak Dukun. Mamat terkenal penakut mengekor ayahnya di belakang dengan badan sedikit bergetar.

"Yah, ini rumahnya serem banget. Jangan-jangan ada hantunya."

"Ya serem lah, namanya juga rumah Dukun."

Belum juga ayahnya Mamat mengetuk pintu, tiba-tiba pintu rumah si Dukun terbuka dengan sendirinya. Mamat tampak kaget hingga meremas lengan baju ayahnya.

"Apaan sih, Mat. Jangan dilihatin dong takutnya. Kamu kan anak laki."

"Aku kan bukan seperti ayah yang pemberani."

Mamat menatap ayahnya dengan cemberut. Lalu, terdengar suara dari dalam rumah.

"Pak Hasan ya. Ayo masuk"

Suara pak Dukun mempersilahkan anak dan ayah itu masuk ke dalam rumah.
Suasana di dalam rumah tampak remang-remang. Ada lampu neon kuning yang dipasang di sudut rumah yang menerangi koleksi keris tua milik pak Dukun.

Pak Dukun tampak duduk bersila di lantai beralaskan tikar. Dia mengenakan pakaian serba hitam dengan rambut gondrong acak-acakan serta jenggot panjang lebat. Kepalanya diikat kain merah.

Mamat dan ayahnya masuk ke dalam rumah lalu ikut bersila di depan pak Dukun.

"Jadi ini Mamat ya."

" I... iya, Mbah." Jawab Mamat gugup.

"Ayahmu tadi sudah ke sini. Kalau menurut penerawangan saya, anakmu sakit karena dikerjain orang."

Suara pak Dukun terdengar sangat berwibawa dengan aroma-aroma mistik di sekelilingnya.

"Ah, masa sih, Mbah."

Mamat tampak tak percaya. Ayahnya langsung mencubit paha Mamat agar tidak sembarangan bicara. Mamat tampak menahan sakit.

"Yang kulihat ada yang iri sama kamu, Mat. Dia pernah kerja tukang sama kamu."

"Ah... jangan-jangan kerjaan si Wawan nih. Dia kan gak suka sama aku." Batin Mamat.

"Jadi, gimana caranya supaya cucu saya bisa sembuh, Mbah? "Tanya ayahnya Mamat.

Pak Dukun tampak menarik nafas panjang, lalu mengambil sedikit kemenyan untuk dibakar di kendi yang ada di depannya. Saat aroma kemenyan keluar, tampak pak Dukun membaca-baca mantera.

"Jadi, malam ini juga, kalian berdua harus ke kuburan. Cari kodok hijau yang ada di sana. Nanti sampai rumah kodoknya direbus bersama mantera ini."

Pak Dukun memberikan secarik kertas bertuliskan mantera ke Mamat.

"Lalu?" Tanya Mamat.

"Lalu minumkan airnya ke anakmu. Dia pasti langsung sembuh."

Mamat tampak tidak ada pilihan lain selain menuruti perintah si Dukun. Mereka berdua memutuskan untuk nekat pergi ke kuburan demi mencari seekor kodok hijau.

Malam semakin larut dan udara semakin dingin menusuk. Mamat melaju dengan kencang membawa motor menuju ke kuburan. Tak berapa lama, mereka tiba disambut suasana sepi dan gelap. Ayahnya Mamat memegang sebuah senter di tangan kanannya.

"Gimana caranya kita cari kodok hijau, Yah? Ini gelap banget. Ngeri lagi."

Mamat tampak gemetaran sambil memeluk tubuhnya sendiri.

"Ah, penakut kamu! Cuma kuburan aja masa takut?" Kata ayahnya yang berdiri di belakang Mamat sambil membantu menerangi jalan. "Ayo, kamu jalan duluan. Ayah ikutin dari belakang. Ayah bantu terangin jalan pake senter."

Mamat akhirnya memberanikan diri berjalan lebih dulu. Mereka berdua tampak memasuki area pekuburan lebih dalam. Sesekali terdengar suara burung hantu atau lolongan anjing.

"Aduh, banyak setannya nih." Batin Mamat sambil memeluk tubuhnya sendiri.

Sesekali angin bertiup menerpa mereka berdua, dan wangi melati berlalu bersama angin.

"Yah, udah yuk. Pulang aja. Udah sepuluh menit gak ada kodoknya." Kata Mamat berbisik.

"Hus, cerewet! Cari aja terus. Kan cuma butuh satu." Jawab ayahnya sambil terus menyenter jalan.

Mereka berdua tampak berjalan pelan-pelan sambil terus melirik-lirik ke arah tanah mencari kodok hijau.

Tak lama kemudian, senter ayahnya Mamat mati karena kehabisan baterai.

"Aduh, habis batre lagi."

Ayahnya Mamat tampak menepuk jidatnya.

"Yah, ayo kita pulang aja."

Mamat sudah dari tadi menahan kencing karena takut. Untungnya malam itu cahaya bulan purnama bersinar terang.

Mereka berdua masih saja mencari-cari kodok hijau namun belum ketemu. Berkali-kali Mamat dan ayahnya mengucapkan permisi setiap kali melewati kubur orang.

"Yah, udahan. Ini kayak orang bego kita di sini."

Setelah beberapa saat Mamat mulai putus asa. Dia bermaksud untuk mengakhiri. Saat Mamat maju melangkah, tiba-tiba dia merasa menginjak sesuatu yang kenyal. Lalu disusul dengan suara teriakan melengking. Sontak Mamat kaget luar biasa.

Dia balik badan untuk menarik ayahnya pergi. Betapa kagetnya dia saat melihat ayahnya sudah tak ada di belakangnya. Ternyata ayahnya Mamat yang pemberani itu sudah lari terbirit-birit terlebih dahulu karena ketakutan juga. Dia lari dengan kencang meninggalkan Mamat seorang diri. Melihat itu, Mamat pun ikut lari terbirit-birit menyusul ayahnya sambil berteriak ketakutan.

"Ayaaaaaahhhh... ayaaaaahhhh. Tunggu!"

Tampak Mamat lari seperti terbang, dia sanggup melompati dua kuburan sekaligus karena rasa takut yang luar biasa. Jika dalam keadaan normal, Mamat pasti tidak sanggup melakukannya.

Secepat kilat anak dan ayah itu melaju dengan motor menembus malam kembali kerumah. Mereka sudah tidak perduli lagi soal kodok hijau itu.

Di dekat kubur, kodok hijau yang diinjak Mamat tampak mati sia-sia, di terangi sinar rembulan.

Sesampai di rumah, Mamat dan ayahnya langsung duduk di ruang tamu dengan wajah pucat. Tanpa sadar mereka berdua ngompol di celana karena ketakutan.

Tati yang melihat pemandangan lucu itu tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata.

"Sudah, gak usah aneh-aneh ke Dukun. Besok pagi kita bawa Ujang ke Puskesmas."

Tati berkata sambil membuatkan teh hangat untuk Mamat dan ayahnya. Mereka berdua hanya mengangguk setuju dengan perkataan Tati.

Besok paginya, Mamat dan Tati membawa Ujang ke Puskesmas. Ternyata Ujang sakit demam berdarah dan harus di rawat di Puskesmas.

Saat Mamat berjalan pulang ke rumahnya mengambil pakaian ganti untuk Ujang, di samping rumahnya ada seekor kodoh hijau yang duduk di dekat pot bunga.

"Ah, sialan. Ini ada kodok hijau. Ngapain aku repot-repot cari ke kuburan? Dasar bego, ngapain ikutin perintah Dukun." Kata Mamat dalam hati sambil membuka kunci pintu rumah.

Si kodok hijau yang merasa terganggu karena ditatapi Mamat dengan tajam tampak melompat pergi sambil mengeluarkan suara seakan mengejek Mamat.

Saat itu dia sadar, waktu malam di kuburan, itu bukan suara setan, tapi suara kodok.
Mamat menepuk jidatnya lalu masuk ke dalam rumah.

Tamat.






pulaukapok
Ndaru4u
greenlizard
greenlizard dan 5 lainnya memberi reputasi
6
468
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan