Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NeeshaMarettaAvatar border
TS
NeeshaMaretta
RUN




Fay duduk. Sambil menyugar rambut, ia menghembuskan napas dengan gundah. Tangannya yang kurus bergerak-gerak gelisah. Sedangkan matanya mengitari halte bis yang sedang sepi.


Ini waktu Maghrib.


Tak banyak orang yang mau keluar rumah saat-saat begini.


"Apa yang kau cari, Fay ...," bisiknya lirih pada diri sendiri. Airmatanya menggenang ketika pikirannya kembali melayang pada peristiwa siang tadi. Hal sepele, tapi berujung derita.


Tidak akan ada yang mengerti. Semua usaha yang telah dilakukannya dengan sepenuh hati, sia-sia saja. Berakhir dengan tamparan Papa yang mendarat di pipinya. Segera saja ia membungkus beberapa helai baju ke dalam ransel, mengambil handphone, hasil dari keringatnya sendiri, lalu berjalan keluar rumah sambil memaki pada kedua orangtuanya.


"Pergi sana! Tidur saja di cafe kebanggaanmu itu! Jangan pulang sebelum berhasil!" teriak papanya. Sementara mamanya hanya bisa menangis sambil menyabarkan laki-laki setengah baya itu.


"Susah payah disekolahin di sekolah mahal, hanya buat kerja di kafe! Pake tato-tato lagi!" bentak sang papa berang.


Fatiah, yang sering dipanggil Fay, pergi dengan segudang perasaan kesal. Dia sudah 20 tahun. Apa salahnya mencoba peruntungan sendiri. Mencoba berbisnis di samping kuliah. Menjadi enterpreuner muda bersama teman-temannya yang lain.


Tapi, tampaknya, sang papa tidak sejalan dengan Fay. Keributan demi keributan selalu saja terjadi di antara mereka. Hingga puncaknya, tangan laki-laki paruh-baya itu mendarat di pipinya. Kepalanya berdenging, pipinya panas dan perutnya lapar, membuat ia terdampar di halte bis tanpa tahu apa yang ingin dilakukannya.


Kembali ke kafe?
Fay malas menghadapi pertanyaan dari teman-temannya.


Balik ke rumah?
Harga diri dan egonya menghalangi pemikiran itu.


Di tengah kegamangan itu, Fay melihat ke sekeliling. Hari mulai gelap. Matanya menangkap satu pemandangan di samping kanannya.


Seorang nenek tampak kepayahan menenteng dua buah kantung plastik kumal di masing-masing tangannya. Tubuhnya yang renta berjalan terbungkuk-bungkuk di jalanan sepi. Satu dua orang lewat tanpa menoleh. Tidak ada seorangpun yang memperhatikannya. Semuanya ingin segera cepat-cepat pulang ke rumahnya.



Si nenek terkejut, saat tiba-tiba seorang perempuan muda bertato merebut kedua kantung plastik itu dari tangannya. Tubuhnya gemetar ketakutan sambil perlahan ia berseru, "jangan, Neng! Itu sembako dikasih orang tadi," ucapnya memohon.


"Nenek apa-apaan sih?!" Fay mendelik ke arahnya. "Aku cuman mau bantu bawainnya aja." Kemudian gadis itu mengerutkan dahinya sambil berkata, " dimana rumah Nenek? Ayo, aku antar ke sana."


Si nenek terdiam, lalu menjawab dengan mata berkaca-kaca. Tangan kurusnya menunjuk ke satu arah lurus di depannya, sambil berujar lirih, "di sana, Neng. Di sebelah rumah kardus di pengkolan situ."


Fay tercenung, sambil melihat ke ujung jalan yang cukup jauh dari sana. Ia menganggukkan kepala lalu membalikkan badan dengan dua kantung plastik yang berat berisi sembako.


"Ayo, kuantar, Nek," ajaknya sambil melangkah. Tangannya penuh dengan tentengan. Mereka berjalan dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Langkah keduanya terhenti di depan sebuah rumah papan, yang lebih layak disebut gubuk. Tepat di ujung pengkolan di dekat pembuangan sampah. Gubuk itu bahkan lebih bagus bila dibandingkan dengan rumah-rumah kardus yang berjajar di sekitarnya.


Si nenek mengambil dua kantung plastik yang diserahkan oleh Fay. Ia masuk ke dalam gubuk, dimana terbaring sosok kurus dengan rambut memutih di atas tikar lusuh. Pemandangan itu begitu saja terlihat setelah si nenek menyibakkan sebuah kain kumal yang membatasi ruangan dalam.


Fay terdiam. Ia kembali kepada bayangan rumah orangtuanya yang luas dan mewah. Betapa dunia sungguh berbeda.


Si nenek kembali ke hadapan Fay sambil berjalan tertatih-tatih. Dengan senyum tulus yang terukir di bibirnya yang renta, ia berujar dengan perlahan, "Terimakasih, Neng. Nenek ndak bisa ngasih apa-apa. Ini, ada telur. Buat kamu makan di rumah."


Tangannya yang renta mengangsurkan sebuah karpet telur, berisi lima belas butir telur. Terikat rapi dengan tali rafia. Ini pastilah berasal dari paket sembako yang didapatkannya tadi.


Fay menolak pemberian itu. Lalu mendorong tangan tua itu kembali. Ada rasa haru yang tumbuh di dalam dirinya.


"Buat nenek saja," tolaknya halus. Fay bahkan tidak bisa mengubah nada suaranya yang ketus. Dia terbiasa berbicara seperti itu.


"Saya akan kembali besok," ucapnya lagi sambil berbalik hendak pergi.


"Terimakasih, Neng. Terimakasih. Ndak banyak anak muda yang seperti Neng sekarang. Mau nolongin Nenek renta seperti saya. Semoga Allah selalu melindungimu, Neng."


Ucapan lembut itu menghentikan langkah Fay. Kemudian dia perlahan berbalik menghadap si nenek. Wajah tua yang bersih dan damai itu kembali mengulas senyum tulus.


"Terimakasih. Terimakasih, Nak."


Setitik air mata Fay mengalir, di pipinya yang halus.
Lalu berubah menjadi sedu sedan yang panjang. Ia mengusap matanya berkali-kali. Si nenek terlihat bingung, mengira ada kata-katanya yang menyakiti hati si gadis.


'Terimakasih. Terimakasih, Nak.'


Dua kata yang ingin dia dengar seharian ini.


Yang tidak ia dapatkan dari mereka, yang katanya menyayanginya.


Untuk semua usaha yang telah dilakukannya.





TAMAT


LLG, 28 April 2020




Agan n Sista, mampir yuk ke cerpen saya. Klik aja DI SINI 😍



Atau langsung ke sini yaaa : CERPEN KEREN

Thankyou 😘
Diubah oleh NeeshaMaretta 05-05-2020 01:07
ButetKeren
abellacitra
nona212
nona212 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
585
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan