SINOPSIS FILM.
“Saya tidak akan menikah kalau Indonesia belum merdeka”, begitu sumpah Mohammad Hatta. Ya, impian Hatta adalah mewujudkan kemerdekaan tanah airnya. Demi impiannya itu, Hatta menapaki jalan panjang perjuangan. Satu hal yang ia pahami benar, bahwa untuk menapaki jalan perjuangan itu ia butuh keteguhan dalam memegang prinsip.
Melalui Perhimpunan Indonesia (PI) yang ia dirikan bersama teman-temannya di Belanda saat kuliah, Hatta muda memulai perjuangannya. Sepak terjangnya di PI membuat ia ditangkap dan dijebloskan di penjara oleh Pemerintah Belanda. Menyerahkah Hatta? Tidak. Dalam pembelaannya ia berkata, semoga rakyat Indonesia merasa merdeka di bawah langitnya.
Hatta bebas, tapi perjalanannya masih panjang. Dan menyakitkan. Ia dikeluarkan dari PI oleh teman-temannya sendiri. Ia merasa disingkirkan. Tapi Hatta berusaha tidak berhenti. Usai menyelesaikan kuliah, Hatta pun memutuskan kembali ke tanah air – dengan ditemani 16 peti buku miliknya. Tentu saja bukan cuma buku-buku yang ia bawa. Hatta kembali dengan membawa semangat Indonesia Merdeka.
Pertemuannya dengan Soekarno semakin menajamkan gerakan perlawanan Hatta menentang Belanda. Senjatanya bukan pedang, bambu runcing, atau bedil. Tapi pena. Ia melawan dengan tulisan-tulisannya. Terbukti, penanya lebih tajam dari pedang. Belanda bereaksi. Serangan-serangan Hatta dipatahkan. Hatta diasingkan ke Boven Digul, kemudian ke Banda Naira. Soekarno dan Sjahrir yang sudah dikenalnya sejak di Belanda juga ikut diasingkan bersamanya. Dan Hatta, membawa serta ke-16 peti bukunya.
Tujuh tahun menjadi orang buangan tidak mematahkan semangat perjuangan Hatta. Hatta tetap Hatta yang teguh dengan pendiriannya: Lawan Belanda. Kalahkan.
Belanda kemudian memang kalah. Tapi oleh Jepang. Penjajah baru.
Tetap dengan prinsipnya tak mau menjadi negeri terjajah, Hatta melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap Jepang. Untuk itu, ada harga yang harus ia bayar. Nyawanya terancam. Ada usaha pembunuhan terhadap dirinya. Mobilnya dipaksa keluar dari jalanan di daerah Puncak. Beruntung, Hatta selamat.
Kedatangan Jepang ke Indonesia sempat membawa angin segar bagi perjuangan kemerdekaan. Hatta dan Soekarno diajak bekerjasama oleh Jepang. Katanya, Jepang mau mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Hatta mencoba mengikuti arah angin ini. Karena memang, Jepang tak bisa dijegal dengan keras. Sebab rakyat banyak yang akan jadi korban keganasan animal war benama Nippon itu.
Tapi angin segar lalu bertiup ke arah lain. Jepang dibom Sekutu dan terpaksa menyerah kepada Sekutu saat perjuangan kemerdekaan Indonesia tinggal selangkah lagi. Hatta dan Soekarno diculik oleh para pemuda. Mereka mendesak. Kemerdekaan harus diwujudkan segera, dengan atau tanpa bantuan Jepang.
Ternyata Jepang tak bisa memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Hatta marah besar karena merasa Jepang melanggar janji. Lalu, Hatta dan Soekarno pun nekad memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
17 Agustus 1945, pukul 10.00. Hatta tiba tepat waktu di Jl. Pegangsaan Timur 56. Ia memang selalu tepat waktu. Proklamasi dikumandangkan. Bendera Merah Putih dikibarkan. Lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Indonesia telah merdeka. Hatta lalu diangkat menjadi wakil presiden Republik Indonesia.
Tahun 1945 mungkin tahun termanis bagi Hatta. Beberapa bulan setelah proklamasi, ia menikah dengan gadis pilihannya, Rachmi. Mereka menikah di Mega Mendung, Bandung. Hatta membuktikan sumpahnya. Ia menikah ketika tanah airnya sudah merdeka.
Inikah ujung jalan perjuangan Hatta? Benarkah Indonesia sudah selesai? Ternyata belum. Masih ada urusan menata negeri yang masih bayi. Pergulatan dan benturan politik seperti Piagam Jakarta dan lainnya membuat merdeka memang tak bisa jadi tujuan akhir. Apalagi Belanda masih ingin mencengkramkan kukunya di Indonesia. Belanda menyerang Indonesia lewat Agresi Militer tahun 1947.
Perundingan-perundingan pun dijalankan. Hatta menyadari bahwa merdeka saja tidak cukup. Indonesia harus berdaulat. Maka perjuangan pun terus berjalan. Di sela perundingan-perundingan ini kembali Hatta ditikam dari berbagai arah. Belanda melancarkan lagi Agresi Militer II 1948. Bersamaan dengan itu Amir Sjarifudin, seseorang yang pernah ia tolong nyawanya sebelum masa kemerdekaan, bergabung dengan PKI dan melakukan pergerakan yang Hatta baca sebagai pemberontakan.
Amir Sjarifudin ditangkap. Hatta dilema. Amir adalah sahabat karibnya. Haruskah ia menghukum kawan seperjuangannya sendiri? Dilema Hatta berakhir tragis. Tanpa sepengetahuannya, Amir Sjarifudin dieksekusi mati. Hantaman besar buat Hatta.
Hatta pun jadi keras hatinya. Dia sekarang menolak sama sekali segala hal berbau kompromi atau kerja sama. Terutama dengan Belanda. Pembuangan ke Bangka membuat Hatta membatu.
Ketika disepakati ada perundingan Roem Royen antara Indonesia-Belanda, Hatta pun memilih untuk mengirim Mohammad Roem sebagai ketua delegasi. Dengan modal kekeraskepalaan tanpa kompromi. Akibatnya, perundingan berlangsung alot sama 10 hari. Hatta akhirnya diminta datang dari Bangka ke Jakarta.
Hatta seperti menarik napas panjang. Hatinya yang sedang tertutup, perlahan terbuka saat melihat negeri-negeri boneka bentukan Belanda berbalik mendukung Indonesia.
Hatta mulai merasakan bahwa Indonesia memang akan selalu bergolak dalam dinamika. Satu kejernihan menyergapnya: Indonesia adalah negeri yang selalu tumbuh. Dia harus ikut di dalamnya. Hatta pun berangkat ke Jakarta. Kembali mau menghadapi perundingan dengan gagah dan tetap tajam.
Kejeniusan Hatta berdiplomasi terbukti ketika ia bicara empat mata dengan Van Royen. Van Royen tunduk dan Belanda akhirnya akan memberikan kedaulatan untuk Indonesia, lewat Konferensi Meja Bundar [KMB].
Di KMB, perundingan tak mulus begitu saja. Indonesia belum bisa berdaulat sepenuhnya. Ditambah lagi Hatta pada akhirnya “terpaksa” menerima bahwa Indonesia harus menanggung hutang-hutang Belanda. Namun Hatta yang sekarang adalah Hatta yang sudah makin menyadari: bahwa bukan hanya keteguhan memegang prinsip saja yang dibutuhkan dalam perjuangan, tapi juga kesadaran memahami dinamika.
Maka saat penyerahan kedaulatan oleh Belanda ke Indonesia di Istana Belanda, ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan diiringi lonceng gereja, Hatta tahu, kedaulatan bukanlah posisi statis. Tapi dinamika akan terus ada. Perjuangan, tak pernah selesai. Sebab Indonesia harus berani tumbuh untuk bisa terus berdaulat.